Tugas Softskill 4 Moralitas Koruptor
Nama : Happy Octa Famelia
Npm : 13211211
Kelas : 4EA22
ABSTRAKSI
Happy
Octa Famelia. 13211211
MORALITAS
KORUPTOR
Tugas
Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2014
Kata
kunci : KORUPSI .
Didalam kehidupan sosial,
manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat.
Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut moral.
Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam kehidupan
sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral. Dia akan
dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis membicarakan
tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang yang
melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu.
BAB1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap menjalankan kehidupannya,
manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat.
Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut
moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam
kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral.
Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis
membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang
yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu. Berdasarkan kajian diatas penulis mengambil
judul yang akan dijelaskan pada penulisan yang berjudul “Moralitas Koruptor”
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam
penelitian ini :
· Mengapa korupsi bisa
terjadi ?
· Bagaimana dampaknya bagi kegiatan
bisnis ?
· Siapa yang harus bertanggung jawab ?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah penelitian
mencakup tentang moralitas dan juga korupsi
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kali ini
bertujuan untuk mencari tahu mengapa korupsi bisa terjadi ? bagaimana dampaknya
bagi kegiatan bisnis ? dan siapa yang harus bertanggung jawab ?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Moralitas
Moralitas berasal dari kata
dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang
berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak
budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani;
bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi
diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku
pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang
azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika.
Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma,
aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan
tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak
manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana
sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.
Moralitas yang secara leksikal
dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau
buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan
buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau
suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Secara terminologi moralitas
diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut pandang
yang berbeda:
Franz Magnis Suseno menguraikan
moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau
sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam
perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari
hati), moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena Ia
sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan ia mencari keuntungan.
Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
W. Poespoprodjo, moralitas
adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas
mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Immanuel Kant, mengatakan bahwa
moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam bahasa Kant, apa yang
baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan sama sekali. Kebaikan
moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan, jadi yang baik bukan
hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan,
moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan
tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus
bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah
taat secara tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut,
disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang
mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di
dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus kolektif, yang
pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.2 Korupsi
Korupsi merupakan sebuah kata
yang tidak asing lagi kebanyakan orang. Kata ini sudah menjadi buah bibir bagi
pemberitaan-pemberitaan saat ini. Indonesia salah satu Negara yang termasuk
tinggi dalam tingkat korupsinya. Korupsi banyak yang mengartikan bahwa sebuah
sogokan atau mengambil yang bukan merupakan haknya, mungkin banyak arti lain
dari koupsi. Tetapi, pada intinya korupsi itu merupakan sebuah hal yang dapat
merugikan bagi setiap Negara. Untuk mempelajari lebih lanjut, saya akan
memberikan sebuah pengertian-pengertian korupsi dari sumber-sumber terpercaya.
Korupsi atau rasuah (bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak
pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
· perbuatan melawan hukum,
· penyalahgunaan kewenangan, kesempatan,
atau sarana,
· memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi, dan
· merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
· Jenis tindak pidana korupsi di
antaranya, namun bukan semuanya, adalah
· memberi atau menerima hadiah atau
janji (penyuapan),
· penggelapan dalam jabatan,
· pemerasan dalam jabatan,
· ikut serta dalam pengadaan (bagi
pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
· menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang
politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau
wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun
ada juga yang tidak legal di tempat lain
Dampak Negatif Korupsi
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan
serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit
demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit
pembangunanekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke
proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi
juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan
pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika
dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri,
bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar
bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali
dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,
melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari
30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar
negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya
pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomisMancur
Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan
politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset
pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi
para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan
dari ekspropriasi di masa depan.
Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis ada di banyak
negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis
berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan
kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu
mereka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian ini menacari
informasi dari berbagai sumber untuk menjawab rumusan dan tujuan masalah. Data
yang digunakan penulisan ini menggunakan data sekunder. Data Sekunder adalah
data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah
ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan
lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mengapa korupsi bisa terjadi
?
Berikut ini merupakan faktor-faktor
penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1. Penegakan hukum tidak konsisten :
penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu
berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang
karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup :
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan
negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara
negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat
kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang
berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan
hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih
rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum
sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi >
kerugian bila tertangkap
8. Budaya permisif/serba membolehkan;
tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak
perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika :
ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada
masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan
peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional
antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya
bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya
maupun orang lain. (indopos.co.id, 27 Sept 2005)
4.2 Bagaimana dampaknya bagi
kegiatan bisnis ?
Dampak korupsi terhadap bisnis
dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan
meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan
ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang
dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi
oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta, korupsi
berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat
sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran
suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari
kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam
persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan –
perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya
yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian
perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat
akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk
kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri
sendiri.
4.3 Siapa yang harus bertanggung
jawab ?
Pertanyaan di atas sangat
sederhana, bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya tidak akan pernah
sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika direkayasa sebagai
pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah apa yang terbentang
luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, korupsi juga kian
menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah
korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan
semut dengan gajah. Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983,
BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan
pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan pengawasan
umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan
pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas)
fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap
kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang
diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.”
Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan
manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan
sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil
pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a) keterjadian penyimpangan;
b) b) adanya bukti kerugian keuangan
Pemerintah;
c) c) adanya bukti orang atau badan yang
melakukan penyimpangan;
d) d) adanya bukti orang atau badan yang
menikmati hasil penyimpangan.
Jika diketemukan bukti-bukti
tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu
Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus
tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan
di pengadilan.
Selama ini, banyak yang
mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali cenderung
melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan oleh BPKP
tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
Lantas, siapa yang harus
bertanggungjawab memberantas korupsi? Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa Indonesia,
korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk kepentingan
pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999, unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan
oleh orang atau badan, adanya perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik tindak pidana korupsi
sendiri sebenarnya juga seringkali tidak disadari oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah
pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani kwitansi
yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima. Pada kasus demikian, orang
yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir bahwa kwitansi
tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana yang penting uang
diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa perusahaan atau instansi
harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Kelebihan pembayaran
adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan. Kasus di atas memenuhi unsur
tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi telah
melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan palsu atau tidak benar;
Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan
negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi.
Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak mengisi tanggal
pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka pembeli mobil atau
motor tidak harus membayar bea balik nama dengan segera. Padahal, sesuai
ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah perpindahan
kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan perpindahan kepemilikan tersebut dan
membayar bea balik nama. Tindakan tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang
menjual bukan menjadi sesuatu masalah, karena yang penting uang sudah diterima.
Tapi bagi pembeli, tidak diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera
balik nama, berarti tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung unsur
tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang menandatangani
kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi keterangan palsu,
Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera membayar bea
balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang menandatangani
kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah yang diterima.
Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun penjual akan
membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan ini memenuhi
unsur tindak pidana korupsi, karena:
· Yang melakukan adalah yang
menandatangani kwitansi
· Menguntungkan pihak penjual dan
pembeli karena membayar pajak lebih kecil
· Merugikan keuangan negara karena pajak
yang diterima negara lebih kecil
· Melakukan penyimpangan karena
menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima
Contoh-contoh sederhana di atas
hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi sehari-hari yang secara tidak
sadar dan sadar telah dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang
dapat dikelompokkan memenuhi unsure tindak pidana korupsi adalah:
· menggunakan mobil dinas (bukan mobil
pejabat) untuk kepentingan pribadi
· tidak memerintahkan pindah dari rumah
dinas walaupun sudah tidak berdinas
· menyewakan aula kantor dan hasilnya
untuk dana kesejahteraan karyawan
· menggunakan ruang kantor untuk pendidikan
suatu yayasan tanpa sewa
· menggunakan sisa hasil pungutan ujian
negara untuk kepentingan yayasan
· menggunakan ruang kantor untuk toko
koperasi karyawan tanpa sewa
· tidak mencantumkan bukti potongan
pembayaran pada bukti pembayaran dan memanfaatkan penerimaan potongan untuk
dana kesejahteraan karyawan
Selama hal-hal di atas tidak
bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah utopia.
Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa kental
keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian keterjadiannya.
Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah kwitansi yang
ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa kwitansi yang
telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang
adalah siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap korupsi, apakah:
· Orang yang menandatangani kwitansi?
· Orang yang membayarkan uangnya?
· Orang yang mengetahui tetapi tidak
melapor?
· Aparat pengawasan yang tidak mampu
mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan,
seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan berbenturan dengan
kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus berhadapan dengan bukti yang
diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah memenuhi unsur bukti, dan hasil
konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah benar, dan hasil analisis bukan
merupakan bukti, maka apa yang anggapan pemeriksa bahwa telah terjadi
penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan. Masalah-masalah kecil
tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu alasan mengapa
pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana korupsi. Kegagalan
dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat, melainkan karena
adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan sadar tidak
mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara tercinta ini.
Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan efektivitas
pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh
komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta sebuah
iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang besar-besar, yang
seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas,
moralitas memang sangat dibutuhkan bagi setiap insan manusia. Moralitas dapat
menjadi tolak ukur bagi manusia untuk mebedakan mana perbuatan yang baik dan
mana yang buruk. Banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
korupsi, dari faktor tersebut lagi lagi adalah hokum yang merupakan salah satu
keadilan bagi rakyat tidak bisa berbuat apa apa untuk para koruptor, dan
mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagib para koruptor untuk
melakukan kegiatan korupsinya, semakin lemah kekuatan hukumnya semakin besar
celah korupsi bagi para koruptor.
5.2 Saran
Tanamkanlah sikap disiplin dan
juga pendidikan agama yang baik sejak dini, itu merupakan modal awal manusia
untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat merugikan Negara. Dan
juga menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi, seperti hukuman mati.
Karena hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang sangat mudah dan
malah menjadi banyak yang tertarik dengan melakukan tindak korupsi tersebut.
Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran dari diri
masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah dari diri
kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara melawan
korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu.
DAFTAR PUSTAKA
http://lidya-novita.blogspot.com/2013/02/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html
http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-moral-dan-moralitas.html
http://rickaastry.wordpress.com/2012/11/05/4-etika-bisnis-korupsi-faktor-penyebab-dan-dampak-korupsi-terhadap-bisnis/
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/15/korupsitanggungjawabsiapa.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
Axel Dreher, Christos
Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World: Evidence
from a Structural Model
Komentar
Posting Komentar